Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Pada kesempatan sebelumnya telah kami angkat bahasan talak. Yang dibahas saat itu adalah definisi talak, dalil dibolehkannya talak, hukum talak dan macam talak. Berikut ini, bahasan talak akan menjelaskan sebagian hal yang berkaitan dengan syarat-syarat talak.
Para ulama membagi syarat sahnya talak menjadi tiga macam: (1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak. Kesemua syarat ini tidak dibahas dalam satu tulisan. Kami akan berusaha secara perlahan sesuai dengan kelonggaran waktu kami. Untuk saat ini kita akan melihat manakah saja syarat yang berkaitan dengan suami yang akan mentalak.
Syarat Berkaitan dengan Orang yang akan Mentalak
Pertama: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.
Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ
“Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.”[1]
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ….” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.
Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh.
Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.
Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).
Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ
“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.”[2]
Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,
كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
“Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.”[3] Namun hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat).
Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.
Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal.
Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.
Dalam pembahasan ini, para ulama biasa menyinggung bagaimanakah ucapan talak yang diucapkan oleh orang mabuk, orang dalam keadaan tidur, dan yang hilang kesadaran semacam itu. Insya Allah pembahasan tersebut akan kami kaji dalam serial berikutnya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimuush sholihaat.
Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, hal. 235-237.
Riyadh-KSA, 5 Rabi’uts Tsani 1432 H (10/03/2011)
[1] HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan shahih.
[2] HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. Tirmidzi no. 1191. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if, namun shahih jika mauquf (perkataan sahabat).